Sejarah Lahirnya Nahdlatul Ulama: Dari Gagasan Para Kiai hingga Menjadi Pilar Bangsa
Di tengah situasi sosial dan keagamaan yang penuh gejolak pada awal abad ke-20, Indonesia menyaksikan lahirnya salah satu organisasi keagamaan terbesar di dunia: Nahdlatul Ulama (NU). Kisah berdirinya NU bukan hanya catatan organisasi, tapi juga cerita tentang respons para ulama pesantren terhadap perubahan zaman dan tantangan global.
Awal Mula: Keresahan dan Gagasan
Segalanya bermula sekitar tahun 1924. Kala itu, para ulama di Nusantara mulai resah dengan kebijakan Raja Ibnu Saud di Mekah, yang hendak menerapkan mazhab tunggal Wahabi dan mengancam keberagaman praktik keislaman, terutama mazhab Ahlussunnah wal Jamaah yang dianut luas di Indonesia. Di tengah keresahan ini, KH Abdul Wahab Chasbullah menggagas perlunya wadah resmi bagi ulama tradisionalis untuk membela kepentingan dan menjaga ajaran mereka. Ide ini kemudian disampaikan kepada KH Hasyim Asy’ari, tokoh pesantren Tebuireng, Jombang, yang dikenal luas sebagai ulama kharismatik dan bersahaja.
Diskusi-diskusi intens berlangsung, hingga akhirnya usulan nama “Nahdlatul Ulama” (Kebangkitan Ulama) muncul atas saran KH Mas Alwi bin Abdul Aziz. Nama itu kemudian disepakati dalam pertemuan para kiai terkemuka di Surabaya pada 31 Januari 1926, bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H. Momen ini menandai lahirnya NU secara resmi, dengan KH Hasyim Asy’ari sebagai Ketua Syuriah pertama dan KH Abdul Wahab Chasbullah sebagai motor penggerak organisasi.
Latar Belakang Sosial: Tradisi, Kolonialisme, dan Modernisasi
NU lahir di tengah arus modernisasi dan kolonialisme Belanda. Banyak organisasi Islam lain yang lahir lebih dulu, seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam, mengusung semangat modernis dan pembaruan. Di sisi lain, pesantren-pesantren tradisional merasa perlu menjaga ajaran dan praktik Islam yang telah berakar kuat di Nusantara. NU hadir sebagai representasi ulama tradisionalis yang ingin menjaga keberagaman, toleransi, dan kearifan lokal dalam beragama.
Perkembangan Awal dan Peran Strategis NU
Pada masa awal berdirinya, NU aktif memperjuangkan kebebasan bermazhab, khususnya di Tanah Suci, dan membangun jaringan pesantren untuk memperkuat pendidikan Islam. Organisasi ini juga mengambil peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. NU tidak hanya berdakwah, tapi juga menggerakkan umat untuk melawan penjajahan Belanda, bahkan mengeluarkan Resolusi Jihad pada Oktober 1945 yang menjadi salah satu pemicu semangat perlawanan rakyat Surabaya terhadap tentara Sekutu.
Selain itu, NU membangun sistem pendidikan berbasis pesantren, mendirikan lembaga pendidikan formal, dan aktif dalam mengembangkan kurikulum nasional yang menanamkan nilai pluralisme dan nasionalisme. Sejak awal, NU juga berperan sebagai jembatan dialog antarumat beragama dan penjaga semangat Bhinneka Tunggal Ika
Penutup: Warisan yang Hidup
Seiring waktu, NU berkembang pesat menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia dengan anggota puluhan juta, jaringan pendidikan luas, dan pengaruh sosial yang sangat besar. Lebih dari sekadar organisasi, NU adalah bagian dari denyut sejarah bangsa: lahir dari keresahan, tumbuh dalam perjuangan, dan terus berperan aktif menjaga nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin di bumi Nusantara.