Hakim Adhoc Perbaiki Permohonan Uji UU PPHI

 

Jakarta, 20 Mei 2025 – Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang Perbaikan Permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan. Hubungan Industrial (UU PPHI) terhadap Undang – Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). 

Permohonan dengan nomor perkara 49/PUU-XXIII/2025 ini dijadwalkan pada Selasa (20/05/2025) pukul 16.00 WIB yang diajukan oleh Daud Salama yang sebagai Hakim Adhoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Pemohon menilai bahwa penggunaan istilah "Hakim Ad-hoc" dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang PPHI menimbulkan kesan jabatan sementara dan membatasi hak atas pekerjaan, kesetaraan, dan perlindungan dari perlakuan diskriminatif. Padahal, kenyataannya banyak hakim Ad-hoc PHI yang telah menjabat hingga sepuluh tahun dan diangkat oleh Presiden RI, yang seharusnya mendapat pengakuan setara dengan hakim-hakim lain seperti Hakim Pajak atau Hakim Tipikor. 

Perbedaan perlakuan terhadap Hakim Ad-hoc PHI tidak hanya merugikan secara profesional, tetapi juga mencederai martabat dan hak konstitusional mereka.

Perbandingan antara Hakim Ad-hoc PHI dan Hakim Tipikor menunjukkan ketimpangan dalam perlakuan hukum. Hakim Tipikor tidak dikenai batas usia pensiun, hanya batas usia minimum saat pengangkatan. 

Sebaliknya, Hakim Ad-hoc PHI dibatasi usia pensiunnya, padahal keduanya sama-sama diangkat melalui proses seleksi ketat dan berdasarkan keputusan Presiden. Hal ini menunjukkan adanya diskriminasi struktural terhadap Hakim PHI yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum.

Pemohon juga menyoroti tren peningkatan usia pensiun nasional yang sejak 2004 meningkat dari 55 tahun menjadi 59 tahun pada 2025. Dalam konteks ini, pembatasan usia pensiun Hakim Ad-hoc PHI menjadi 62 tahun terasa semakin tidak relevan dan diskriminatif. Padahal, selama masih mampu secara jasmani dan rohani, seorang hakim seharusnya dapat terus mengabdi dan menjalankan tugas yudisial.

Selain itu, perbedaan tunjangan dan fasilitas yang diterima oleh Hakim Ad-hoc PHI jika dibandingkan dengan Hakim Umum dan Hakim Pajak juga memperkuat bukti perlakuan yang tidak adil. Misalnya, dalam kebijakan kenaikan tunjangan hakim tahun 2024, hakim Ad-hoc PHI tidak mendapatkan kenaikan seperti hakim lainnya. Ketimpangan ini mempertegas pentingnya revisi status dan perlakuan terhadap Hakim PHI agar setara dengan posisi yudisial lain yang dibentuk oleh undang-undang.

Konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 28I ayat (2), menjamin hak warga negara untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif. Oleh karena itu, istilah “Ad-hoc” yang melekat pada jabatan hakim dalam PHI perlu diubah menjadi “Hakim Pengadilan Hubungan Industrial (Hakim PHI)”, mengingat sifat jabatan ini yang eksklusif, spesifik, dan terstruktur dengan jenjang peradilan tersendiri, serta seleksi dan pengangkatan langsung oleh Presiden.

Berdasarkan uraian tersebut, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan seluruhnya, yaitu mengganti istilah "Hakim Ad-hoc" menjadi "Hakim PHI" dan menghapus batas usia pensiun selama hakim masih sehat jasmani dan rohani. Pemohon juga meminta agar Pasal 60 ayat (1) huruf b dan Pasal 67 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945.

Pada sidang sebelumnya, beragendakan sidang Pendahaluan (07/05), MK memberikan nasihat agar ketentuan mengenai batas usia pensiun hakim ad hoc tidak hanya terbatas pada Pengadilan Tipikor, tetapi juga dijabarkan untuk pengadilan lainnya. MK menyarankan agar dibuat tabel yang memuat batas usia pensiun—baik batas atas maupun batas bawah—sebagai bahan perbandingan antar sesama hakim ad hoc, bukan hakim definitif, guna memperjelas dasar pertimbangan hukum. 

Post a Comment

Komentarmu adalah cerminan dirimu