KH. Ahmad Shiddiq, Jember KH. Ali Ma'shum, Krapyak - Yogyakarta KHR. As'ad Syamsul Arifin, Situbondo |
Meski Malaikat Turun, Kiai As'ad Syamsul Arifin & Kiai Mahrus Ali Tidak Mau
Gus Mus pernah bercerita bahwa dalam hal struktur kepengurusan di NU dulu punya tradisi selalu berebut menolak untuk memegang jabatan. Kiai Abdul Wahab dan Kiai Bisri Syansuri menolak menjadi Rais Akbar karena masih ada Kiai Hasyim Asy’ari.
Sepeninggal Kiai Hasyim tahun 1947, keduanya merasa keberatan menggantikan posisi Kiai Hasyim, terlebih Kiai lainnya. Akhirnya Kiai Wahab bersedia. Itu pun dengan konsensus Rais Akbar diganti dengan istilah Rais Aam. Karena menurut Kiai Wahab, gelar Rais Akbar hanya patut di sandang oleh Kiai Hasyim Asy'ari saja.
Saat Kiai Wahab sakit karena sepuh, muktamirin sepakat menunjuk Kiai Bisri Syansuri sebagai pengganti. Namun Kiai Bisri tetap menolak. Menurut Kiai Bisri, selama masih ada Kiai Wahab, meski beliau sakit dan hanya bisa sare-an (tiduran) saja, beliau tidak akan bersedia mengganti posisi Kiai Wahab.
Sepeninggal Kiai Wahab Hasbullah tahun 1971, maka Kiai Bisri Syansuri bersedia menjadi Rais Aam tahun 1972. Dan beberapa tahun menjadi Rais Aam kemudian beliau wafat tahun 1980. Para Kiai sepuh berembug (berdiskusi) memilih pengganti Kiai Bisri Syansuri.
Saat itu, Kiai As’ad Syamsul Arifin yang ditunjuk oleh para Muktamirin untuk menjadi Rais Aam, dengan dalih Kiai As'ad lah satu-satunya orang yang pernah menjadi penghubung antara Syaikhona Kholil dengan Kiai Hasyim Asy'ari ketika akan mendirikan NU. Tetapi beliau menolak dengan tegas karena merasa belum pangkatnya. “Saya hanya bisa aktif di NU, tetapi tidak pantas menduduki jabatan itu. Saya lebih baik berperan di balik layar, menjaga dan menjalankan amanah yang di berikan Kiai Hasyim Asy'ari kepada saya”. Begitulah dawuh beliau.
Bahkan saat dipaksa oleh para Kiai, Kiai As’ad berkata: “Meskipun Malaikat Jibril turun dari langit untuk memaksa saya, saya pasti akan menolak..!!”
Dan beliau dawuh : “Yang pantas itu Kiai Mahrus Ali Lirboyo..!!”
Kiai Mahrus Ali pun bereaksi saat namanya disebut Kiai As’ad, sembari berkata :
“Jangankan Malaikat Jibril, kalaupun Malaikat Izroil turun dan memaksa saya, saya tetap tidak bersedia, saya lebih baik menjadi pengurus di tingkat Wilayah atau bahkan di Cabang saja..!!”
Akhirnya musyawarah ulama memutuskan memilih Kiai Ali Ma'shum Krapyak yang saat itu tidak hadir. Dan Kiai Ali Ma'shum menangis dan tidak keluar dari ndalem beliau, beliau menerima amanah sebagai Rais Aam dengan berat hati dan sedih. Beliau menjabat Rais Aam tahun 1980 sampai 1984, setelah itu beliau tidak bersedia melanjutkan lagi.
Kemudian para Kiai sepuh bermusyawarah tentang penentuan Rais Aam pengganti Kiai Ali Ma'shum.
Pertama; Tiba-tiba saja Kiai Mahrus Ali memberikan surban ke pangkuan Kiai Ahmad Shiddiq seraya berkata “Surban ini dari Nabi Khidir, panjenengan harus bersedia menjadi Rais Aam PBNU”. Maka, Kiai Ahmad Shiddiq yang dari awal menolak dipilih, menangis tersedu mengingat betapa beratnya amanat yang dipasrahkan kepada beliau.
Kedua; Ketika hendak diadakan Munas NU di Situbondo tahun 1983 yang akan membahas Pancasila sebagai asas tunggal, Kiai Abdul Hamid Pasuruan memerintahkan santri beliau untuk memberikan surban kepada Kiai Ahmad Shiddiq di Jember. Kiai Abdul Hamid juga berkata, “berikan surban ini ke Kiai Ahmad Shidiq karena beliau akan menghadapi perang badar”. Sang santri juga tidak memahami apa yang dimaksud ‘perang badar’. Dan di Munas tersebut semua Kiai dan NU pada akhirnya setuju Pancasila sebagai asas tunggal. Dan juga setelah Munas di Situbondo itu beliau Kiai Ahmad Shiddiq diminta oleh para Kiai menjadi Rais Aam PBNU saat Muktamar NU ke-27 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Asembagus Situbondo tahun 1984.
Entah berapa persen para Ulama sekarang bisa meneladani sikap para pendahulu, semoga Marwah NU masih terjaga sepanjang masa,, Aamiin aamiin aamiin Ya Robbal'alamiin.
Wallahu A'lam Bishowab
Sumber :ala_nu